Opini, Legalvoice.id - Dampak pandemi
COVID-19 tidak hanya mengakibatkan resesi ekonomi dalam skala global. Sektor
pangan pun tak luput dari terjangannya. Organisasi pangan dunia, Food and
Agriculture Organization (FAO)
mengatakan, COVID-19 berpeluang besar mengakibatkan krisis pangan. Imbas
kekhawatiran ini, Presiden Jokowi pun meresponsnya. Dalam pernyataannya pada 28
April 2020 lalu mengatakan, ketersediaan bahan pangan di beberapa daerah belum
memadai, terdapat beberapa provinsi yang akan kekurangan
beras, jagung, kentang, dan lain sebagainya.
Sebagai langkah
taktis, Joko Widodo mewacanakan pembukaan lahan baru seluas 900 Hektare di
Kalimantan Tengah. Langkah yang dianggap pemerhati lingkungan gegabah.
Pertanyaannya kemudian, benarkah langkah pembukaan lahan ini sudah tepat untuk
mengatasi krisis pangan di Indonesia? Lantas, bagaimana dengan gembar-gembor
Reforma Agraria yang selama ini didengungkan oleh Jokowi? Yang, konon katanya,
menjadi salah satu program prioritas beliau dan termaktub dalam nawacitanya.
Bukankah seharusnya reforma agraria mampu menjawab tantangan saat ini?
Syahdan,
berbicara tentang reforma agraria bukanlah lagi menjadi sesuatu yang baru di
Indonesia. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, pun sudah mendengungkannya
ketika berusaha untuk menasionalisasi aset-aset Pemerintahan Kolonial Belanda di
Indonesia. Sebagai wujud keseriusan negara saat itu, dibuatlah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Selain itu, adanya Land Reform 1960 dimaksudkan untuk
mengubah susunan masyarakat warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi
masyarakat merata, demokratis, adil, dan sejahtera. Kelak inilah yang menjadi
spirit dari reforma agraria.
Tahun demi tahun
setelah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, harapan untuk terejawantahkannya
reforma agraria dengan baik dan benar bak jauh panggang dari api. Reforma
agraria kehilangan momentumnya ketika Indonesia dipimpin oleh Soeharto.
Semangat Undang-Undang No 5 Tahun 1960 dikubur dalam-dalam olehnya. Salah satu
cara yang dilakukannya, yakni pada tahun 1967 lahir Undang-Undang Penanaman
Modal, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Pertambangan yang
senyata-nyatanya bertentangan dengan spirit Undang-Undang Pokok Agraria.
Pasca Reformasi,
harapan itu seolah hidup kembali ketika ditetaskannya TAP MPR NO. 9 Tahun 2001
tentang Pembaharuan Agararia dan Sumber Daya Alam. Namun, TAP ini jua bernasib
sama dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Peraturan ini hanya berlaku di atas
kertas, fakta di masyarakat masih sering tersulut konflik agraria.
Dalam periode
pertama Jokowi lahirlah Peraturan Presiden No 86 tahun 2018 Tentang Reforma
Agraria. Di awal kemunculan Perpres ini seolah menunjukkan sebuah harapan
lahirnya reforma agraria yang akan berdampak baik bagi masyarakat Indonesia.
Dalam Pasal 1 Perpres ini dikatakan, “Reforma agraria adalah penataan kembali
struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih
berkeadilan melalui penataan aset, disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran
rakyat Indonesia.”
Pun yang menjadi
tujuan dari reforma agraria ini, yakni mengurangi ketimpangan penguasaaan dan
pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan, menangani sengketa dan
konflik agararia, menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
yang berbasis agrarian melalui pengaturan, penguasaan, penggunaan, dan
kemanfaatan tanah, menciptakan lapangan pekerjaan untuk mengurai kemiskinan,
memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi, meningkatkan ketahanan dan
kedauatan pangan, serta memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
Dalam perjalanannya, menurut hemat penulis, kenyataannya pemerintah setengah hati dalam menjalankan amanat reforma agraria ini. Reforma agraria harusnya berfokus pada tiga hal, yakni redistribusi, legalisasi, dan perhutani sosial.
Namun,
pemerintah dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang hanya berfokus pada
legalisasinya saja. Data organisasi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencatat,
legalisasi aset mencapai 508.391, 11
hektar, sedangakan redistribusi aset seluas 187.036 hektar. Data dari
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mengatakan, “lebih dari tiga tahun reforma
agraria berjalan tidak sejengkal Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kawasan
hutan dilepaskan untuk masyarakat.”
Legalisasi tanah
melalui pembagian sertifikat secara massal hanya berlaku bagi mereka yang
memiliki tanah yang terdaftar dalam TORA.
Lantas, bagaimana dengan mereka yang tunakisma (tidak punya tanah),
landless, dan buruh tani? Apakah mereka akan diabaikan begitu saja? Pun dalam
hal pembagian tanah yang tidak merata, membuat "acara" bagi-bagi
sertifikat tidak mampu mereduksi monopoli tanah di Indonesia.
Salah satu dosen
IPB, Mohamad Shohibudin mencatat mayoritas tanah dikuasai oleh 0,2 persen
populasi dan 0,11 persennya merupakan pemilik rekening simpanan di atas 2
milyar. Indonesia berada di peringkat ke-empat di dunia dengan tingkat
ketimpangan yang tinggi setelah Thailand, Rusia, dan China. Hal ini tentu saja
tidak sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Pokok Agararia No. 5 Tahun 1960 yang
mengatakan, ”Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
Dus, kepemilikan
tanah yang timpang ini menjadikan tanah sebagai objek investasi. Menurut WALHI,
dampak dari kepemilikan tanah yang menjadi objek investasi mengakibatkan
kepemilikan tanah kurang dari 0,3 hektar dan sebanyak 17,10 juta penduduk
miskin harus hidup di desa.WALHI juga
mencatat, terjadi penguasaan besar-besaran atas sumber agraria. Sebesar 71% dikuasai
oleh perusahaan kehutanan; 16% dikuasi oleh perusahaan perkebunan; 7% dikuasai
oleh golongan kaya, dan sisanya masyarakat miskin. Dampaknya 10% orang terkaya
menguasai 77% kekayaan nasional. Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agararia
No. 5 Tahun 1960 yang mengamanatkan segala usaha dalam lapangan agraria
digunakan untuk kepentingan nasional dilabrak begitu saja.
Selain itu
dampak dari reforma agraria setengah hati ini mengakibatkan marak terjadi
konflik agrarian di berbagai daerah. Menurut KPA, jumlah konflik agraria dari
tahun 2015 sampai 2018 mencapai 1.700 kejadian. Komnas HAM juga mencatat, dalam
kurun waktu 2018 sampai April 2019 tercatat 196 kasus konflik agraria.
Berkaca dari
data di atas, terbukti reforma agraria yang dijalankan pemerintah tidak dapat
menghilangkan monopoli atas tanah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Legalisasi tanah yang dilakukan oleh pemerintah berdampak pada penuntutan hak
bagi mereka yang harusnya juga berhak atas kekayaan alam negeri ini (baca Pasal
33 ayat 3 UUD NRI 1945, “bumi air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”)
Reforma agraria
harus dijalankan sepenuh hati, tidak hanya legalisasi, tetapi perlu
redistribusi lahan-lahan kehutanan yang tidak terpakai, tanah-tanah PTPN yang
terbengkalai, diberikan kepada mereka yang pantas mendapatkannya, bagi para
petani gurem, landless, dan buruh tani alih fungsi lahan. Sekaligus negara
perlu hadir sebagai fasilitator untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria
yang masih sering terjadi.
Dalam hal
regulasi kita tidak perlu khawatir karena sebenarnya kita siap secara regulasi
untuk mewujudkan reforma agararia sejati. Mulai dari Undang-Undang Pokok
Agararia No 5 Tahun 1960, TAP MPR Nomor 9 tahun 2001, hingga Perpres 86 Tahun
2018 tentang Reforma Agraria siap menjadi pijakan yuridis untuk mewujudkan
reforma agraria sejati, kita hanya menunggu political will dari setiap
stakeholder bangsa ini.
Apabila hal ini
dapat terejawantahkan dengan baik, krisis pangan yang dikhawatirkan banyak
pihak sudah jauh-jauh hari kita antisipasi. Maka kita tak perlu dengar lagi
sebuah wacana konyol dari pemerintah yang ingin membuka lahan gambut di
Kalimantan, di mana hal ini terbukti gagal saat dilakukan oleh rezim Soeharto
yang berujung blunder dengan terjadinya kerusakan lingkungan sistematis.
Oleh : Alboin Samosir, S.H
COMMENTS