Hukum, Legalvoice.id - Pajak Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan
Undang-Undang (Pasal 23A UUD 1945). Dengan demikian tidak ada pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa yang dibebankan kepada Rakyat tanpa adanya
persetujuan wakil rakyat (no taxation without representation).
Namun pada sisi lain, karena pungutan pajak sangat berkaitan erat dengan
pembangunan perekonomian.
Perekonomian Negara
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 berdasarkan asas
kekeluargaan. Dalam rangka untuk mengimplementasikan asas kekeluargaan
tersebut, system perpajakan Indonesia sekarang ini menganut system self assessment, maksudnya dalam
menjalankan kewajiban perpajakan WP diberi kepercayaan untuk menghitung,
membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri.
Berdasarkan system
tersebut semua WN yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif sesuai
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada
kantor DJP untuk dicatat sebagai WP dan sekaligus mendapatkan NPWP (vide Pasal
2 ayat (1) UU 28/2007 tentang KUP.
Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa kewajiban perpajakan dimulai sejak terpenuhinya persyaratan
subyektif dan obyektif, tidak tergantung pada sarana administrasi seperti NPWP.
Demikian juga bagi Pengusaha selain wajib memiliki NPWP, sebagai Pengusaha yang
dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan
usahanya kepada DJP untuk dikukuhkan menjadi PKP (vide Pasal 2 ayat (2) UU
28/2007 tentang perubahan ketiga KUP).
Dengan demikian setiap
Pengusaha memiliki 2 (dua) kewajiban, yakni untuk terdaftar sebagai WP dengan
memiliki NPWP dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP apabila
telah memenuhi batasan nilai omzet yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Bahwa Pasal 3A ayat (1) UU
No.42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.8 Tahun 1983 tentang PPN
Barang dan Jasa dan PPnBM memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk
menetapkan batasan Pengusaha untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Untuk yang sekarang
berlaku yakni apabila usaha yang dilakukan oleh Pengusaha yang bersangkutan
sampai dengan 1 (satu) bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau
melebih Rp4.800.000.000,00.- (empat
milyar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK No.197/PMK.03/2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2010 Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan
Nilai.
Dengan demikian sama
dengan pemberian NPWP, Pengukuhan PKP
bersifat administratif karena
kewajiban perpajakan bagi Pengusaha dimulai sejak usaha yang bersangkutan telah
melebihi perolehan bruto yang diperolehnya dalam setahun.
Dengan kata lain,
kewajiban perpajakan tersebut, timbul
karena UU, bukan karena dikukuhkan sebagai PKP, hal ini sejalan dengan
system self assessment yang dianut ketentuan perpajakan Indonesia,
karena Pengusaha itu sendirilah yang mengetahui seberapa besar peredaran bruto
yang diperolehnya selama setahun, sehingga dapat diketahui kapan yang
bersangkutan dikukuhkan menjadi PKP yang selanjutnya berkewajiban untuk
memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang terutang, sebagaimana ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu terhadap
Pengusaha yang telah mencapai batas peredaran bruto usaha sebagaimana
ditetapkan oleh Menteri Keuangan meskipun belum dikukuhkan sebagai PKP namun
menerbitkan faktur pajak tidak akan dikenai tindak pidana sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 39A UU 28/2007 tentang perubahan ketiga KUP. Karena
ketentuan pidana tersebut ditujukan untuk Pengusaha yang benar-benar belum
memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif untuk dikukuhkan sebagai PKP namun
menerbitkan faktur pajak.
Bahwa guna menjaga
keseimbangan system self assessment,
Pasal 2 ayat (4) UU UU 28/2007 tentang perubahan ketiga KUP memberikan
kewenangan kepada DJP menerbitkan NPWP dan/atau PKP secara jabatan apabila WP
dan/atau PKP tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ayat (2).
Penerbitan NPWP dan/atau
PKP secara jabatan oleh DJP dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang
diperoleh atau dimiliki DJP ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha
tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan
sebagai PKP (vide penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU 28/2007 tentang perubahan
ketiga UU KUP.
Dengan demikian penerbitan
NPWP dan/atau PKP sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) merupakan sarana
administrasi oleh DJP dalam menetapkan kewajiban perpajakan yang dimulai sejak
dipenuhinya persyaratan subyektif dan obyektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, yakni paling lama 5 (lima) tahun
sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, sebagaimana
ditentukan oleh ayat (4a).
Berdasarkan ketentuan
tersebut maka apabila WP dan/atau PKP tidak memenuhi kewajiban perpajakan
sebagai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka kewajiban
perpajakannya akan ditagih oleh DJP sampai dengan 5 (lima) tahun ke belakang
sejak seharusnya memenuhi syarat untuk memiliki NPWP dan/atau dikukuhkan
sebagai PKP.
Termasuk dalam pengertian
ini juga bagi Pengusaha yang meskipun mendaftarkan diri secara sukarela untuk
dikukuhkan menjadi PKP tidak akan menghapus kewajiban perpajakannya sebelum
sampai 5 (lima) tahun ke belakang. Apabila ditemukan data telah memenuhi
syarat, oleh karena itulah diberikan kewenangan kepada DJP untuk mengukuhkan
PKP secara jabatan.
Dalam hal ini termasuk
memberikan konsekuensi hukum sesuai Pasal 13 ayat (2) huruf e UU 28/2007
tentang perubahan ketiga UU KUP yaitu tambahan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2 % (dua persen) saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
Begitupula untuk PPN ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sesuai
dengan Pasal 14 ayat (4) sebesar 2 % dari pengenaan pajak (DPP) uang ditagih
melalui surat tagihan pajak (STP) sebagai konsekuensi dari penarikan kewajiban
perpajakan yang seharusnya dilakukan WP atau PKP sampai dengan 5 (lima) tahun
ke belakang.
Ketentuan tersebut menurut
Mahkamah menunjukkan adanya perlakuan yang sama antara pengusaha yang melakukan
pengukuhan menjadi PKP secara sukarela maupun ditetapkan secara jabatan,
sehingga terdapat jaminan keadilan, persamaan perlakuan, dan kepastian hukum
bagi seluruh Pengusaha, yakni bahwa kewajiban perpajakannya sama sama dikenakan
saat terpenuhinya persyaratan obyektif dan subyektif serta terdapat kepastian
limitasi waktu kebelakang paling lama dalam memenuhi kewajiban perpajakannya
selain itu menurut Mahkamah Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) UU 28/2007 tentang
perubahan ketiga UU KUP merupakan instrument bagi aparat perpajakan untuk
mengawasi kewajiban perpajakan WP dan/atau PKP, sehingga terciptanya
keseimbangan dalam system self assessment.
Dengan demikian Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) UU 28/2007 tentang perubahan ketiga UU KUP tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sumber : Putusan MK Nomor 13/PUU-XIV/2016
COMMENTS