Opini, Legalvoice.id - Dalam kegiatan perekonomian, ada 2 (dua)
pemeran utama yakni pelaku usaha dan
konsumen. Dua entitas ini akan sering berinteraksi karena memiliki kebutuhan
antar satu sama lain. Pelaku usaha membutuhkan konsumen sebagai pengguna dari
barang/jasa hasil produksinya, sedangkan konsumen akan sangat membutuhkan
pelaku usaha sebagai penyedia barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari.
Perkembangan teknologi informasi elektronik (Internet) membawa dampak luas bagi
masyarakat termasuk dalam dunia perdagangan sehingga ruang gerak transaksi
semakin luas dan tak terbatas, baik wilayah maupun waktu. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya
transaksi jual beli secara online (tanpa tata muka) antara Pelaku Usaha dan konsumen. Namun, Perkembangan jejaring teknologi
informasi ini juga seperti pedang bermata 2 (dua).
Selain memberikan kemudahan dan efisien, ternyata memiliki dampak
negatif yang dapat ditimbulkan, contoh kecilnya penipuan.
Akan tetapi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) menjadi angin segar bagi
konsumen. Dalam Pasal 1 angka 1 UUPK
menyebutkan ;
“Perlindungan Konsumen adalah segala daya upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.Hak Konsumen dan Pelaku usaha secara berimbang juga telah diatur dalam UUPK, Pasal 4 perihal hak konsumen dan Pasal 7 perihal hak pelaku usaha.
Namun, didalam UUPK belum mengatur secara spesifik mengenenai jual-beli secara online, oleh karna itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2012 Tentang Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik atau yang dikenal
dengan singkatan PP PSTE. Menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus
memuat hal-hal sebagai berikut; data identitas para pihak; objek dan spesifikasi;
persyaratan Transaksi Elektronik; harga dan biaya; prosedur dalam hal terdapat
pembatalan oleh para pihak; ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang
dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk
jika terdapat cacat tersembunyi; dan pilihan hukum penyelesaian Transaksi
Elektronik.
Penyelesaian
Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha
Adanya regulasi tentang
Perlindungan Konsumen tidak serta merta meniadakan sengketa yang akan terjadi. Pada
tahun 2019, Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) mencatat pengaduan akibat belanja online sebanyak
34 kasus. Belum lagi yang tidak dilaporkan oleh korban. Dalam
rangka penyelesaian sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha, UU Perlindungan
Konsumen telah mengaturnya dalam Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pasal 45 ayat (1) “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum”
Pasal 45 ayat (2) “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa “.
Maka, demi mencegah terjadinya sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha, sebaiknya konsumen menjadi konsumen yang cerdas
dan selektif serta kritis apabila ditemukan hal-hal yang mencurigakan seperti
harga yang terlalu murah dan lain sebagainya.
COMMENTS