Opini, Legalvoice.id - Tanah Papua merupakan tanah yang
subur dan berlimpah sumber daya alamnya. Istilah ini menjadi familiar dan kebanggaan
bagi orang asli Papua dan orang luar yang masuk dan mendiami tanah Papua.
Investasi merupakan salah satu dari ribuan persoalan yang ada di tanah Papua. Mulai
dari proses perizinan yang bermasalah, pengambilan lahan secara sepihak,
pembungkaman disertai teror, pembunuhan terhadap masyarakat, protes masyarakat pemilik
ulayat dan perusakan lingkungan menjadi cerita-cerita pilu kehadiran investasi
di tanah Papua.
Pada tahun 2017, tanah Papua terus dirambah oleh dunia investasi
sawit. Berdasarkan laporan bersama “Catatan Akhir Tahun 2017” yang dikeluarkan pada
Januari 2018, mencatat bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan kepada tiga perusahaan perkebunan
kelapa sawit dan industri pangan. Ketiga perusahaan yang mendapat izin pada Juli
2017 adalah PT Bangun Mappi Mandiri (Kabupaten Mappi, dengan luasan lahan
18.006 Ha), PT Agriprima Cipta Persada (Kabupaten Merauke, dengan luas lahan
6.200 Ha) dan PT Menara Wasior (KabupatenTeluk Wondama dengan luas lahan 28.880
Ha) pada September 2017.
Pada Maret 2017, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan Nomor
172/Menlhk/Setjen/PLA.2/3/2017 tentang perubahan alih fungsi kawasan hutan lindung
Momi di Gunung Botak, Kabupaten Manokwari Selatan, seluas 2.218 Ha menjadi hutan
produksi konversi (HPK) seluas 231 Ha dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas
2.100 Ha.
Keputusan ini diduga untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan tambang
pasir kuarsa PT SDIC. Izin bertolak belakang dengan permintaan Pemerintah Kabupaten
Sorong Selatan pada tahun 2013, yang meminta agar hutan tersebut dijadikan sebagai
areal penggunaan lain karena lahan tersebut terdapat perkampungan masyarakat.
Tetapi, hal ini tidak direstui oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia. Kasus-kasus pembabatan dan pemaksaan penguasaan lahan untuk proyek perkebunan
dan pertambangan terus menerus terjadi dan tidak terselesaikan, hingga menjadi persoalan
serius berkepanjangan di kalangan masyarakat.
Masih teringat dengan Mega Proyek
Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE) di Kabupaten Merauke (2007), perusahaan kelapa sawit PT Nabire Baru, PT
Permata Putra Mandiri di Kabupten Sorong Selatan, PT Tandan Sawita Papua di
Kabupaten Keerom, PT Rimbun Sawit Papua di Kabupaten Fakfak, PT Sinar Mas di Kabupaten
Jayapura dan lain sebagainya (Bernard Koten & Wilhelmus I. G. Saur,
2017:64). Kasus perampasan tanah dan hutan rakyat juga terjadi di Sorong Raya
dan Fakfak. Perusahaan didukung pemerintah setempat telah membabat hutan dan
memakai tanah adat secara sepihak. Di Fakfak, Pemerintah Daerah memberikan izin
kepada PT Rimbun Sawit untuk menggarap wilayah Kampung Bima Jaya dan Otoweri,
Distrik Bomberai. Berdasarkan izin pemerintah daerah Fakfak PT Rimbun Sawit membuka
lahan seluas 21.015,52 hektare. Pemberian izin ini melahirkan konflik horizontal, dan
masyarakat dengan perusahaan yang didukung aparat keamanan. Di Kabupaten
Sorong, Pemerintah Sorong memberikan izin perusahaan sawit PT Mega Mustika
Plantation untuk membukalahan seluas 9.835 hektare.
Di daerah selatan Papua (Merauke dan
Boven Digoel) pemerintah menerbitkan izin bagi proyek-proyek MIFEE dan
perusahaan sawit lainnya. Program MIFEE secara resmi disahkan pada 11 Agustus
2011. Sekitar 50 investor atau perusahaan dengan berbagai cara, bahkan dengan
licik memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuannya membujuk masyarakat untuk
melepaskan tanahnya. Perusahaan menghamburkan janji manis dan merebut harta
masyarakat. Di Distrik Sota, Kabupaten Merauke, lahan atau hutan milik suku Yei
dibabat habis oleh dua perusahaan sawit (PT Internusa Jaya Sejahtera dan PT
Agriprima Persada Mulia). Kehadiran para investor ini selalu menjadi mimpi buruk
bagi para pemilik ulayat dan mimpi manis untuk para elite Papua dan pusat.
Negara Indonesia bahkan dunia mengakui
PT Freeport Indonesia sebagai salah satu tambang emas terbesar di dunia setelah
rezim Orde Baru (Presiden Soeharto) menyetujui dikontrak oleh Amerika Serikat.
Namun, Papua kaya akan sumber daya alam yang sangat melimpah. Bukan hanya Kabupaten
Mimika yang memiliki kandungan emas, tetapi beberapa Kabupaten di Papua
memiliki kandungan emas, logam yang tidak terekspos dan sudah dikeruk secara diam-diam
lantaran telah terjadi perselingkuhan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.
Pada tahun 2017, Pemerintah telah menerbitkan izin baru kepada sejumlah perusahaan
pertambangan di Provinsi Papua antara lain: PT Wira Emas Persada di Kabupaten Nabire
(perusahaan yang mengeksplorasi logam 1.242 Ha), PT Aurum Wira Persada di
Nabire yang mengeksplorasi logam 13.880 Ha) PT Trident Global Gramindo
(perusahaan yang mengeksplorasi logam 18.830 Ha) dan PT Madinah Qurrata’ain di
Kabupaten Dogiyai (perusahaan yang mengeksplorasi emas 23.340 Ha). Kemudian, di
Provinsi Papua Barat ada PT Bayu Khatulistiwa Sejahtera di Manokwari
(perusahaan yang mengeksplorasi emas 7.741 Ha) dan PT Dharma Nusa Persada yang mengeksplorasi
emas 20.805 Ha (Wahana Pantau Papua Barat & Kementrian ESDM, 2017).
Kehadiran para investor di tanah
Papua membawa kehancuran baik itu manusia maupun alam Papua. Beberapa kehancuran,
kerusakan dan penderitaan yang disebabkan oleh kehadiran perusahaan pada
beberapa tahun belakangan ini adalah; masyarakat pemilik ulayat kehilangan hak
ulayatnya, tanah atau lahan keramat/sakral yang dihormati turun temurun dan
dijadikan tempat ritual adat. Kehadiran perusahaan sebagian besar berdampak
buruk terhadap tanah dan hutan adat. Hal ini dialami oleh masyarakat Suku
Yerisiam Gua (Nabire), Suku Yei (Merauke), Suku Yeti dan Kriku (Keerom), Suku
Moi (Sorong) dan Suku Mbaham Mattah (Fakfak).
Masyarakat yang melawan dan
mempertahankan tanahnya diteror, diintimidasi, ditembak dan mengalami kekerasan
fisik lainnya. Pelaku dari tindakan buruk itu adalah perusahaan melalui aparat
keamanan yang disewanya. Kekerasan terjadi ketika masyarakat melakukan
pemalangan dan menuntut perusahaan membayar kerugian. Di samping itu, persoalan
pemutusan hubungan kerja (PHK) dialami warga setempat. Kehadiran
perkebunan kelapa sawit dan pertambangan seharusnya membawa dampak kesejahteraan
bagi masyarakat Papua, tetapi sebaliknya menambah deretan konflik horizontal.
Aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat tidak berdampak apa-apa bahkan
berakhir dengan nyawa diujung senjata.
Protes dan Perlawanan Masyarakat
Peningkatan insvestasi ke tanah Papua
tidak serta merta didukung oleh masyarakat pemilik hak ulayat. Masyarakat
pemilik hak ulayat terus berusaha berjuang dan melakukan perlawanan. Masyarakat
didukung oleh organisasi mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
peduli akan nasib dan perlindungan masyarakat terhadap hak-hak atas tanah
ulayat. Kasus perampasan tanah adat terus memicu gelombang protes masyarakat
dari suku-suku pemilik hak ulayat. Aksi protes ini dilakukan oleh Masyarakat
Adat Independen (MAI) di Kabupaten Mimika pada Maret dan April 2017. MAI
melakukan aksi turun ke jalan memprotes perampasan lahan yang dilakukan oleh
pemerintah dengan managemen PT Freeport. Selain di Mimika, gelombang protes datang
dari beberapa kota di Indonesia: Jayapura, Bandung, Manado, Bogor, Jogjakarta,
Palu dan Jakarta yang dimotori oleh Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport.
Walaupun dengan tuntutan yang agak berbeda tetapi massa aksi tetap menginginkan
PT Freeport ditutup.
Pada Juni 2017, masyarakat adat
Yimnawai Gir di Keerom melakukan aksi demonstrasi di lokasi Perkebunan Kelapa
Sawit PT PN II dan Kantor Bupati Keerom. Massa meminta pemerintah dan
perusahaan mengembalikan lahan 50.000 Ha yang dirampas untuk perkebunan kelapa
sawit pada tahun 1980. Kasus perampasan tanah dan hutan kembali diangkat dalam
perayaan hari Hak Asasi Manusia 10 Desember 2017, yang digelar oleh Aliansi
Mahasiswa Papua Selatan di kota Merauke. Aliansi mahasiswa ini meelakukan aksi
demonstrasi di kantor DPRD Kabupaten Merauke tanggal 11 Desember 2017, massa
menyuarakan penolakan program Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena telah merampas tanah dan
hutan adat adat seluas 1,2 juta Ha. Selain itu massa meminta pemerintah
menghentikan izin perusahaan yang melanggar HAM dan merusak hutan, termasuk
menutup perusahaan milik PT Korindo Group.
Kasus-kasus perampasan tanah dan
hutan adat di Papua dilakukan oleh perusahaan dan investor dan didukung dengan
kebijakan pemerintah Provinsi dan Kabupaten dalam pemberian izin operasional,
tanpa melihat aspek-aspek lapangan yang bertentangan dengan hak asasi manusia
terutama dalam berbagai kasus penguasaan tanah dan lahan pertambangan.
Kebijakan pemerintah dan tindakan investor telah menyingkirkan akar kehidupan
para pemilik hak ulayat. Bahkan perampasan tanah dan penguasaan lahan kerap
merusak lingkungan dan hutan. Berbagai gerakan protes yang dilakukan masyarakat
adalah upaya memperjuangkan dan merebut
kembali hak-hak kepemilikan tanah harus mendapat perhatian serius para elite di
Papua. Perjuangan itu untuk menjaga masa depan anak-anak dan generasi muda
Papua. Agar kerusakan lingkungan dan hutan dapat teratasi maka penulis
memberikan beberapa catatan penting kepada Pemerintah (pusat dan daerah) dan
investor:
Pertama
pemerintah (pusat dan daerah) secara tegas
menghentikan dan mencabut izin operasi perusahaan yang melanggar HAM dan
merusak lingkungan. Kedua perusahaan wajib memperhatikan dan
mengutamakan HAM dalam berivestasi di Papua. Ketiga perusahaan wajib
mengembalikan hak ulayat yang sedang digunakan tanpa pengakuan dan persetujuan
masyarakat pemilik hak ulayat. Keempat perusahaan
tidak perlu menggunakan aparat keamanan ketika mengatasi pengaduan masyarakat
pemilik hak ulayat. Kelima pemerintah
daerah wajib melindungi para pekerja yang bekerja di semua perusahaan di tanah
Papua. Keenam perusahaan memperhatikan
hak-hak dasar para pekerja berdasarkan peraturan atau hukum yang berlaku.
Oleh : Joseph
Epifianus | Ketua Presidium
PMKRI Cabang Merauke
![]() |
Kawah Penambangan PT Freeport Indonesia (Foto : liputan6.com) |
COMMENTS